ManajemenS2.umsida.ac.id – Di balik megahnya peran BUMN sebagai penggerak ekonomi nasional, tersimpan persoalan yang tak kunjung selesai: krisis kepemimpinan yang kerap mewarnai perjalanan perusahaan milik negara.
Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sejatinya merupakan tulang punggung perekonomian Indonesia.
Dari sektor energi, transportasi, hingga jasa keuangan, BUMN memegang peran vital dalam menyediakan layanan publik sekaligus menopang pendapatan negara.
Namun, keberadaan BUMN kerap dikaitkan dengan persoalan klasik: pergantian pimpinan yang terlalu sering dan sarat kepentingan politik.
Fenomena ini menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah krisis kepemimpinan di BUMN bersifat personal akibat lemahnya kualitas individu, ataukah sistemik karena pola manajemen yang tidak konsisten?

Realitas di lapangan menunjukkan bahwa masalahnya bukan sekadar pergantian direksi, melainkan keterkaitan erat antara kepentingan bisnis, politik, dan tata kelola perusahaan.
Salah satu isu yang menonjol adalah bagaimana kepemimpinan BUMN sering kali menjadi arena tarik-menarik kepentingan.
Penunjukan pimpinan tidak jarang dipengaruhi oleh afiliasi politik dan kedekatan dengan kekuasaan, alih-alih kompetensi profesional.
Hal ini membuat manajemen BUMN kerap tidak stabil, sehingga sulit menjalankan strategi jangka panjang.
Baca juga: Percaya Diri Jadi Modal Utama Gen-Z dalam Menapaki Dunia Wirausaha
Krisis Tata Kelola dan Kasus Gagal Kelola
Jika menengok praktik Good Corporate Governance (GCG), idealnya BUMN dikelola dengan prinsip transparansi, akuntabilitas, dan independensi.
Namun, berbagai kasus membuktikan bahwa prinsip tersebut masih sering dilanggar. Skandal Jiwasraya misalnya, membuka mata publik tentang lemahnya pengawasan internal dan praktik investasi yang penuh penyimpangan.
Kasus lain di Garuda Indonesia juga menunjukkan bagaimana tata kelola yang buruk berujung pada kerugian besar, bahkan mengancam keberlangsungan perusahaan.
Kementerian BUMN sebenarnya telah melakukan berbagai langkah perbaikan, termasuk menekankan pentingnya penerapan GCG.
Namun, hasilnya sering kali terhambat oleh budaya birokratis dan resistensi terhadap perubahan.
Laporan LHKPN KPK juga menegaskan adanya potensi konflik kepentingan dan praktik korupsi yang mengakar, sehingga memperburuk kredibilitas BUMN di mata publik.
Krisis ini menunjukkan bahwa persoalan di tubuh BUMN bukan hanya soal figur pimpinan, melainkan juga sistem yang belum sepenuhnya mendukung terciptanya tata kelola sehat.
Ketika lingkungan kerja sarat dengan intervensi politik dan lemahnya akuntabilitas, maka siapa pun yang duduk di kursi pimpinan akan sulit menavigasi perusahaan menuju arah yang benar.
Lihat juga: Kebijakan Upah Minimum Antara Tantangan Dunia Usaha dan Harapan Kesejahteraan Sosial
Reformasi Kepemimpinan untuk Masa Depan BUMN
Mengurai benang kusut krisis kepemimpinan di BUMN membutuhkan langkah yang lebih dari sekadar pergantian individu.
Reformasi harus dilakukan menyeluruh, baik dari aspek sistem maupun budaya organisasi. Pertama, penerapan GCG harus benar-benar dijadikan standar mutlak, bukan sekadar formalitas di atas kertas.

Prinsip transparansi, akuntabilitas, dan independensi perlu dijaga ketat melalui pengawasan yang konsisten dan bebas intervensi.
Kedua, proses seleksi pimpinan BUMN harus berorientasi pada kompetensi, rekam jejak, dan integritas, bukan pada kedekatan politik.
Kementerian BUMN bersama lembaga pengawas perlu merancang mekanisme rekrutmen yang objektif dan transparan, sehingga menghasilkan pimpinan yang layak memimpin perusahaan dengan profesionalisme tinggi.
Ketiga, perlu adanya penguatan literasi kepemimpinan di kalangan manajemen menengah BUMN. Regenerasi kepemimpinan yang sehat tidak bisa tercipta jika semua posisi strategis hanya dipengaruhi oleh faktor eksternal.
Investasi pada pengembangan SDM, termasuk pelatihan kepemimpinan berlandaskan etika dan tata kelola, akan menjadi pondasi jangka panjang.
Krisis kepemimpinan di BUMN sejatinya adalah kombinasi antara faktor personal dan sistemik. Tanpa sistem yang kuat, pemimpin berintegritas sekalipun akan kesulitan bekerja.
Sebaliknya, sistem yang sehat tidak akan berjalan optimal jika diisi oleh individu yang lemah integritas. Sinergi keduanya menjadi kunci untuk membangun BUMN yang tangguh, bersih, dan mampu bersaing di kancah global.
Pada akhirnya, masa depan BUMN ditentukan oleh keberanian kita untuk keluar dari pola lama yang penuh intervensi politik.
Reformasi kepemimpinan harus diarahkan pada terciptanya tata kelola yang profesional, beretika, dan berorientasi pada kepentingan publik.
Jika hal ini tidak dilakukan, maka krisis kepemimpinan akan terus berulang, meninggalkan BUMN terjebak dalam lingkaran masalah yang sama dari generasi ke generasi.
Penulis: Indah Nurul Ainiyah