ManajemenS2.umsida.ac.id – Dunia kerja sedang bergeser dari dua arah sekaligus komposisi tenaga kerja makin lintas generasi, dan teknologi AI mulai masuk ke banyak fungsi harian.
Perubahan ini bukan sekadar soal aplikasi baru atau gaya komunikasi yang berbeda, tetapi soal cara organisasi mengambil keputusan, mengukur kinerja, membangun budaya, dan menjaga kepercayaan.
Tantangan terbesar bagi manajer masa depan adalah memastikan manusia tetap jadi pusat, sementara AI dipakai sebagai penguat produktivitas, bukan sumber kekacauan baru.
Di banyak organisasi, masalah sering muncul karena dua kebiasaan lama menganggap semua karyawan bisa dipimpin dengan satu gaya, dan memperlakukan teknologi sebagai urusan tim IT saja. Dua asumsi ini makin tidak relevan.
Baca juga: IHSG di Pusaran Perang Dagang: Ketika Sentimen Global Mengguncang Pasar Indonesia
Mengelola Gen Z dengan Struktur yang Jelas dan Ruang yang Fleksibel

Gen Z umumnya masuk dunia kerja dengan ekspektasi tinggi terhadap transparansi, kecepatan umpan balik, dan kesempatan berkembang.
Ini sering disalahpahami sebagai tidak tahan tekanan atau tidak loyal.
Padahal, yang berubah bukan semangat kerjanya, melainkan definisi “kerja yang masuk akal”: tugas jelas, dampak terlihat, proses tidak bertele-tele, dan komunikasi tidak berputar-putar.
Manajer perlu menggeser fokus dari kontrol ketat menjadi kejelasan sistem.
Buat target yang terukur, batas waktu yang realistis, dan indikator kualitas yang disepakati sejak awal. Lalu, beri otonomi dalam cara mencapainya.
Gen Z cenderung kuat saat diberi ruang untuk mencoba, tetapi tetap butuh rambu agar tidak merasa dilempar tanpa arahan.
Hal yang sering dilupakan adalah desain komunikasi. Pertemuan panjang yang tidak menghasilkan keputusan membuat tim muda cepat kehilangan energi.
Pertemuan singkat dengan agenda jelas, keputusan tertulis, serta tindak lanjut yang rapi jauh lebih efektif.
Selain itu, pembinaan karier perlu lebih terlihat rute naik level, skill yang harus dikuasai, dan proyek apa yang bisa jadi portofolio internal.
Lihat juga: Pemimpin Perempuan Berdaya: Dekan FBHIS Umsida Sabet Outstanding GAD Partners Award
AI di Tempat Kerja Produktivitas Naik atau Risiko Membesar
AI bisa mempercepat banyak hal merangkum dokumen, membuat draf, menganalisis data, hingga mengotomasi layanan.
Namun, manfaat ini datang bersama risiko kebocoran data, bias keputusan, hasil yang salah tapi meyakinkan, serta ketergantungan tim pada output mesin.
Di sinilah peran manajer berubah. Manajer tidak harus menjadi ahli AI, tetapi wajib paham cara mengelolanya aturan penggunaan, batas data yang boleh masuk, dan standar verifikasi hasil.
Praktik yang paling realistis adalah membangun kebiasaan “cek ulang manusia” untuk keputusan penting, terutama yang berdampak pada pelanggan, keuangan, atau reputasi.
Manajer juga harus memimpin reskilling. Alih-alih takut pekerjaan hilang, organisasi perlu memetakan tugas mana yang bisa dibantu AI dan skill apa yang justru makin penting berpikir kritis, komunikasi, pemahaman konteks, etika, dan kemampuan mengarahkan AI dengan prompt yang tepat.
Masa depan kerja bukan pertarungan Gen Z versus generasi lain, atau manusia versus AI.
Ini soal kapasitas manajer membangun sistem kerja yang jelas, adaptif, dan aman.
Jika manajer gagal beradaptasi, organisasi akan kalah bukan karena kurang teknologi, tetapi karena salah mengelola manusia dan keputusan.
Penulis: Indah Nurul Ainiyah












