ManajemenS2.umsida.ac.id – Perang dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok pada tahun 2025 tidak hanya menciptakan ketegangan politik dan gangguan rantai pasok internasional, tetapi juga mengguncang dinamika pasar keuangan negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.
Hal ini menjadi fokus penelitian Prof Dr Drs Sriyono MM CpQnR CSA dari Program Magister Manajemen Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida).
Ia mengkaji bagaimana perubahan harga emas dunia, harga minyak dunia, dan indeks Dow Jones (DJIA) memengaruhi Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada masa konflik ekonomi global tersebut.
Dalam penelitian yang menggunakan data periode Februari hingga Mei 2025, Sriyono menjelaskan bahwa eskalasi tarif antara AS dan Tiongkok di mana tarif AS naik hingga 145% dan dibalas Tiongkok hingga 125% menciptakan ketidakpastian ekonomi internasional yang sangat kuat.
Pada bagian pendahuluan, ia menggambarkan bagaimana perang tarif ini memicu gangguan rantai pasok, gejolak nilai tukar, dan pelemahan kepercayaan investor global.
Kondisi tersebut menciptakan volatilitas tajam pada berbagai komoditas dan indeks dunia, yang kemudian merambat ke pasar Indonesia.
Baca juga: Sukses Ciptakan Aplikasi Koperku, 2 Dosen Fbhis Umsida Sabet Penghargaan KISI 2025
Sentimen Global Mengendalikan Arah IHSG

Menurut Sriyono, perang dagang 2025 membuat IHSG menjadi sangat peka terhadap tekanan global.
Pasar saham Indonesia tidak lagi sepenuhnya digerakkan faktor domestik, tetapi semakin mengikuti arah sentimen internasional.
Dalam analisisnya, ia menegaskan bahwa “pergerakan IHSG berada dalam tekanan kuat sentimen global, terutama dari pasar Amerika dan fluktuasi komoditas internasional,” sebagaimana dituliskan dalam bagian hasil penelitian.
Hasil uji regresi dalam penelitian tersebut menunjukkan pola yang menarik.
Harga emas dunia dan Indeks Dow Jones tercatat memberikan pengaruh positif yang signifikan terhadap IHSG.
Kenaikan harga emas yang biasanya menjadi aset safe haven justru tidak menekan IHSG seperti teori klasik, melainkan ikut mendorong optimisme pasar dalam situasi ketidakpastian.
Begitu pula dengan Dow Jones yang memiliki hubungan positif kuat dengan IHSG, menunjukkan betapa eratnya keterkaitan investor Indonesia dengan dinamika Wall Street.
Sebaliknya, harga minyak dunia menjadi satu-satunya variabel yang memberikan tekanan negatif signifikan.
Kenaikan harga minyak terbukti melemahkan IHSG karena Indonesia masih sangat bergantung pada impor minyak.
Lonjakan harga minyak membuka risiko meningkatnya biaya produksi dan inflasi yang akhirnya memengaruhi kinerja emiten serta persepsi investor.
Temuan tersebut tercatat konsisten dalam tabel hasil uji t pada halaman analisis.
Lihat juga: Ekonomi Islam Tawarkan Jalan Baru Menuju Keberlanjutan: Kritik Dr Kumara terhadap Kapitalisme
Pasar Modal Indonesia dan Tantangan di Era Konflik Global
Penelitian Sriyono menyimpulkan bahwa perang dagang AS Tiongkok menciptakan pola interaksi baru antara IHSG dan variabel global.
Dengan R Square sebesar 41,2%, studi ini menegaskan bahwa pengaruh eksternal tidak dapat diabaikan dalam membaca arah pasar Indonesia.
“Harga minyak dunia menjadi variabel yang paling rentan menekan IHSG ketika ketidakpastian global meningkat,” tulis Sriyono dalam analisisnya.
Hasil penelitian ini memberikan pesan penting bagi regulator, investor, dan pelaku pasar.
Stabilitas IHSG di era konflik global sangat bergantung pada kemampuan memahami dan merespons dinamika eksternal.
Dalam konteks global yang semakin terhubung, faktor internasional kini menjadi kompas utama yang menentukan arah pasar modal Indonesia.
Penulis: Indah Nurul Ainiyah












