ManajemenS2.umsida.ac.id – Ekonomi tidak hanya soal pertumbuhan angka dan akumulasi kapital, tetapi juga tentang arah moral dan tujuan kemanusiaan yang mendasari pembangunan berkelanjutan.
International Guest Lecture yang digelar Fakultas Bisnis, Hukum, dan Ilmu Sosial (FBHIS) Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida) kembali menjadi ruang dialog ilmiah tingkat global.
Salah satu materi yang paling menarik perhatian peserta adalah paparan mendalam dari Dr Kumara Aji Kusuma, dosen Magister Manajemen Umsida, yang membawakan presentasi berjudul “Critiquing Capitalist Sustainability: An Islamic Economic and Philosophical Response – From Growth-Centered Development to Maqāṣid-Based Sustainability.”
Materi ini menyajikan kritik tajam terhadap paradigma keberlanjutan kapitalis sekaligus menawarkan kerangka alternatif berbasis ekonomi Islam.
Dalam forum yang berlangsung di GKB 3 Umsida itu, Dr Kumara mengawali paparannya dengan membongkar problem mendasar yang selama ini tersembunyi dalam wacana pembangunan berkelanjutan global.
Menurutnya, isu keberlanjutan yang dipromosikan dunia internasional masih terikat kuat pada logika kapitalisme yang mengidentikkan kemajuan dengan pertumbuhan ekonomi tanpa batas.
Hal inilah yang kemudian melahirkan degradasi ekologis, ketimpangan sosial, serta hilangnya hubungan spiritual antara manusia dan alam.
Baca juga: Bedah Peran Hukum sebagai Perubahan Menuju Negara yang Adil: Prodi Hukum Umsida Datangkan Ahli
Kritik terhadap Model Keberlanjutan Kapitalisme
Dr Kumara menegaskan bahwa pendekatan kapitalisme terhadap keberlanjutan justru mengandung kontradiksi internal.
Konsep seperti “green growth” atau “green capitalism” sering kali hanya membungkus praktik ekonomi lama dengan label lingkungan.

“Kapitalisme tetap melihat alam sebagai komoditas. Selama keberlanjutan didefinisikan melalui kacamata efisiensi pasar, eksploitasi tidak akan pernah benar-benar berhenti,” ujarnya.
Dalam penjelasannya, ia memaparkan tiga kelemahan utama dari keberlanjutan kapitalis.
Pertama, keterputusan ontologis, yakni cara pandang yang memisahkan manusia dari alam sehingga membuat eksploitasi dianggap wajar.
Kedua, reduksionisme epistemologis, yaitu kecenderungan melihat nilai secara material semata tanpa mengakui aspek moral maupun spiritual.
Ketiga, ketimpangan aksiologis, di mana orientasi profit ditempatkan di atas kepentingan etis dan keadilan sosial.
Melalui metode hermeneutika filosofis dan analisis kritis-komparatif, Dr Kumara menunjukkan bahwa paradigma ini tidak dapat menjadi solusi keberlanjutan jangka panjang.
Justru, katanya, dibutuhkan kerangka moral baru yang tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan ekonomi, tetapi juga dengan alam sebagai amanah.
Lihat juga: MM Umsida dan Esil University Perkuat Jejaring Global Lewat International Guest Lecture
Maqāṣid-Based Sustainability: Tawaran Alternatif dari Ekonomi Islam
Sebagai tandingan, Dr Kumara mengajukan kerangka keberlanjutan yang bersumber dari nilai-nilai Islam.
Dalam perspektif Islam, pembangunan tidak dipahami sebagai akumulasi pertumbuhan, tetapi sebagai falah, yakni kesejahteraan holistik yang mencakup aspek spiritual, sosial, ekologis, dan ekonomi sekaligus.
“Ekonomi Islam menempatkan manusia bukan sebagai penguasa absolut, tetapi sebagai khalifah yang memikul tanggung jawab moral terhadap alam. Keberlanjutan dalam Islam bukan pilihan, melainkan amanah,” tegasnya.
Ia kemudian memaparkan konsep maqāṣid-based sustainability, sebuah pendekatan keberlanjutan yang didasarkan pada lima perlindungan utama dalam maqāṣid al-sharī‘ah: agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.
Kelima nilai ini, menurutnya, berhubungan langsung dengan ekologi, keadilan antargenerasi, distribusi kekayaan, serta pembangunan berbasis ilmu dan tanggung jawab moral.
Presentasi tersebut juga menawarkan berbagai mekanisme kelembagaan sebagai alat mencapai keberlanjutan versi Islam, seperti pemanfaatan wakaf untuk energi terbarukan, zakat produktif untuk wirausaha hijau, green sukuk untuk pembiayaan infrastruktur ramah lingkungan, serta penerapan ekonomi moral Islam dalam bisnis dan investasi.
Pada bagian akhir, Dr Kumara mengusulkan implikasi kebijakan yang perlu dipertimbangkan pemerintah Indonesia, mulai dari memasukkan indikator maqāṣid dalam pengukuran pembangunan nasional.
Tak hanya itu, Ia juga memperluas instrumen keuangan syariah untuk tujuan lingkungan, hingga memperkuat pendidikan ekologi dalam kurikulum berbasis Islam.
Ia menutup sesi dengan sebuah penegasan yang menjadi refleksi bagi seluruh peserta.
“Keberlanjutan tidak akan tercapai jika kita terus memakai lensa yang sama. Islam menawarkan cara pandang yang lebih manusiawi, lebih adil, dan lebih berpihak pada masa depan,” ujarnya.
Selain membuka perspektif baru, materi Dr Kumara juga memantik diskusi intens di antara peserta International Guest Lecture.
Mahasiswa Magister Manajemen Umsida terlihat aktif mengajukan pertanyaan kritis mengenai relevansi maqāṣid-based sustainability terhadap kebijakan ekonomi Indonesia.
Beberapa peserta menyoroti isu ketimpangan ekonomi perkotaan, urgensi transisi energi bersih, serta potensi instrumen keuangan syariah dalam mendorong pembangunan berkelanjutan yang lebih merata.
Diskusi ini menunjukkan bahwa pendekatan ekonomi Islam tidak hanya memiliki fondasi teoretis, tetapi juga ruang implementasi yang nyata di tengah tantangan kontemporer.
Penulis: Indah Nurul Ainiyah












