ManajemenS2.umsida.ac.id – Dunia usaha di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir dihadapkan pada ujian yang tidak ringan. Pandemi global, inflasi yang tidak menentu, hingga disrupsi teknologi dan geopolitik menjadi rangkaian tantangan yang menekan roda bisnis. Situasi ini memunculkan pertanyaan krusial: apakah perusahaan Indonesia sudah benar-benar memiliki mental tahan krisis untuk bertahan, bahkan berkembang, dalam pusaran ketidakpastian?
Fenomena ini erat kaitannya dengan konsep VUCA (Volatility, Uncertainty, Complexity, Ambiguity) yang menggambarkan betapa rapuhnya prediksi dalam dunia bisnis modern.
Konsep ini tidak hanya menjadi istilah akademik, melainkan cermin realitas yang dihadapi perusahaan setiap hari.
Mereka yang masih mengandalkan pola pikir konvensional rentan tertinggal, sementara yang mampu mengantisipasi dinamika memiliki peluang untuk melompat lebih jauh.
Baca juga: Krisis Kepemimpinan dalam BUMN: Masalah Sistemik atau Personal?
VUCA dan Realitas Dunia Usaha
Dalam konteks VUCA, volatilitas muncul dalam bentuk perubahan harga bahan baku dan kurs mata uang yang tiba-tiba melonjak.

Ketidakpastian tampak dari kebijakan yang sering berubah, sementara kompleksitas terlihat dari rantai pasok global yang saling terhubung.
Ambiguitas semakin memperkeruh situasi, ketika arah tren pasar tidak jelas dan perilaku konsumen berubah dengan cepat.
Menghadapi kondisi semacam ini, perusahaan Indonesia dituntut untuk lebih adaptif.
Adaptasi berarti memantau tren dengan cermat, mengandalkan data dalam pengambilan keputusan, dan berani bereksperimen dengan model bisnis baru.
Digitalisasi menjadi salah satu jawaban, karena memberi peluang efisiensi dan kecepatan respon terhadap pasar. Namun, digitalisasi semata tidak cukup tanpa perubahan pola pikir.
Organisasi yang tahan krisis adalah mereka yang tidak melihat ketidakpastian sebagai ancaman belaka, melainkan juga peluang.
Misalnya, perusahaan yang mampu memanfaatkan perubahan perilaku konsumen selama pandemi untuk mengembangkan layanan berbasis daring kini berada selangkah lebih maju.
Lihat juga: Tenure Direksi dan Stabilitas Kepemimpinan: Pilar Pertumbuhan Nilai Perusahaan
Strategi Krisis Manajemen Resiko
Menghadapi dunia yang penuh risiko, perusahaan tidak bisa hanya bersandar pada keberuntungan.

Strategic risk management menjadi kunci agar ancaman dapat diantisipasi sebelum menimbulkan kerugian besar.
Pendekatan ini menuntut perusahaan tidak hanya merespons krisis, tetapi juga menyiapkan strategi mitigasi sejak dini.
Perusahaan yang tangguh biasanya mengintegrasikan manajemen risiko ke dalam setiap aspek perencanaan.
Diversifikasi rantai pasok, misalnya, membantu mengurangi ketergantungan pada satu sumber bahan baku.
Transformasi digital memastikan kelancaran operasional ketika mobilitas terbatas. Bahkan, beberapa organisasi menjadikan manajemen risiko sebagai landasan inovasi, bukan sekadar pengendalian.
Selain sistem, faktor manusia juga berperan besar. Budaya organisasi yang resilien dibangun melalui karyawan yang berpikir kritis, fleksibel, dan terbuka pada perubahan.
Dengan sumber daya manusia yang siap menghadapi ketidakpastian, perusahaan dapat bergerak lebih lincah menghadapi krisis.
Karyawan tidak lagi sekadar pelaksana, melainkan agen perubahan yang mendukung keberlanjutan organisasi.
Sebuah studi Harvard menyoroti karakteristik resilient organizations yang mampu bangkit lebih cepat setelah guncangan.
Mereka tidak terobsesi hanya pada efisiensi, tetapi menekankan kelincahan, inovasi, dan keberanian mengambil keputusan strategis.
Perusahaan Indonesia dapat belajar dari prinsip tersebut. Resiliensi bukan berarti kebal terhadap krisis, melainkan kemampuan untuk memulihkan diri dengan lebih cepat dan cerdas.
Hal ini menuntut investasi pada transformasi digital, tata kelola yang kuat, serta kolaborasi lintas sektor.
Kepemimpinan visioner menjadi elemen vital. Pemimpin yang resilien mampu memberi arah jelas ketika kondisi membingungkan, menjaga semangat tim, dan mengambil keputusan yang berpihak pada keberlanjutan.
Tanpa kepemimpinan yang kuat, strategi terbaik sekalipun akan sulit dijalankan.
Krisis, dalam banyak kasus, menjadi laboratorium pembelajaran. Pandemi mengajarkan pentingnya diversifikasi pendapatan, fleksibilitas kerja, dan percepatan digitalisasi.
Inflasi mendorong efisiensi operasional dan inovasi dalam mengelola biaya. Sementara disrupsi global menuntut perusahaan untuk terus memperbarui strategi.
Semua pengalaman ini dapat menjadi modal berharga bagi perusahaan Indonesia untuk lebih siap menghadapi ketidakpastian berikutnya.
Era ketidakpastian memang tidak menyediakan ruang nyaman. Namun, justru dalam ketidakpastian inilah mental tahan krisis diuji.
Perusahaan Indonesia perlu menyadari bahwa resiliensi adalah hasil dari perencanaan matang, budaya organisasi yang mendukung, dan kepemimpinan yang visioner.
Dengan mengintegrasikan manajemen risiko strategis serta mengadopsi prinsip organisasi resilien, perusahaan Indonesia berpeluang tidak hanya bertahan, tetapi juga berkembang lebih kuat.
Pada akhirnya, mental tahan krisis bukanlah sekadar kemampuan melewati badai, melainkan seni menemukan arah baru di tengah kabut ketidakpastian.
Penulis: Indah Nurul Ainiyah