ManajemenS2.umsida.ac.id – Dalam satu dekade terakhir, ekosistem startup di Indonesia mengalami pertumbuhan pesat.
Gelombang pendanaan dari investor, baik lokal maupun global, membuat banyak perusahaan rintisan berani melakukan ekspansi agresif.
Namun, di balik euforia tersebut, deretan kegagalan juga semakin panjang.
Kasus seperti Zenius, Fabelio, hingga penutupan JD.ID menjadi pengingat bahwa suntikan modal besar tidak selalu berujung pada keberlanjutan.
Banyak startup terlalu terpesona pada pendanaan, tetapi mengabaikan fondasi manajemen keuangan yang sehat.
Mengandalkan Investor dan Budaya Burning Money
Banyak startup lahir dengan strategi membakar uang (burning money) demi merebut pangsa pasar.

Model ini mengandalkan dana segar dari investor untuk memberikan diskon besar, kampanye pemasaran masif, atau subsidi ongkos kirim.
Dalam jangka pendek, strategi ini mampu menarik pengguna dan meningkatkan brand awareness.
Namun, tanpa rencana jangka panjang yang jelas, arus kas perusahaan cepat terkuras begitu pendanaan melambat.
Fenomena ini terlihat pada startup yang menghabiskan sebagian besar modal untuk operasional yang tidak menghasilkan profitabilitas berkelanjutan.
Alih-alih membangun model bisnis yang dapat menopang dirinya sendiri, fokus mereka cenderung pada putaran pendanaan berikutnya.
Begitu pasar berubah atau investor mengurangi komitmen, mereka kehilangan sumber daya untuk bertahan.
Menurut analisis CB Insights, salah satu alasan utama kegagalan startup adalah kehabisan modal dan kegagalan mengatur arus kas.
Mengandalkan dana investor tanpa strategi monetisasi yang matang sama saja dengan menunda kejatuhan.
Melupakan Prinsip Sustainable Growth
Teori sustainable growth menekankan pentingnya pertumbuhan yang sesuai kapasitas perusahaan untuk membiayai ekspansi dari laba yang dihasilkan, bukan semata dari pendanaan eksternal.

Banyak startup gagal karena mereka memaksakan pertumbuhan yang tidak seimbang dengan kemampuan internal.
Kasus Fabelio menjadi contoh jelas bagaimana ekspansi agresif tanpa pengendalian biaya dan manajemen risiko dapat memicu krisis.
Membuka terlalu banyak gudang dan showroom dalam waktu singkat membebani struktur biaya, sementara penjualan tidak tumbuh sesuai proyeksi.
Begitu dana investor habis, beban operasional tidak mampu ditutupi oleh pendapatan.
Pendekatan lean startup sebenarnya menawarkan solusi, yaitu membangun bisnis secara bertahap, menguji pasar dengan produk minimum layak (minimum viable product), dan melakukan iterasi berdasarkan umpan balik pelanggan.
Namun, tekanan untuk tumbuh cepat sering membuat prinsip ini diabaikan. Startup memilih mengejar pertumbuhan kilat demi menarik perhatian investor, meskipun itu berarti mengorbankan kesehatan keuangan.
Lihat juga: Kebijakan Upah Minimum Antara Tantangan Dunia Usaha dan Harapan Kesejahteraan Sosial
Membangun Fondasi Manajerial Startup yang Kokoh
Kegagalan manajemen keuangan di banyak startup menunjukkan bahwa modal besar tidak dapat menggantikan pentingnya fondasi manajerial yang kokoh.
Perencanaan keuangan yang realistis, proyeksi arus kas yang akurat, serta pengendalian pengeluaran adalah kunci untuk bertahan di tengah dinamika pasar yang cepat berubah.
Selain itu, startup perlu memprioritaskan diversifikasi sumber pendapatan. Ketergantungan pada satu model monetisasi membuat mereka rentan terhadap perubahan perilaku konsumen atau kondisi ekonomi.
Strategi bertahan tidak hanya tentang mengurangi biaya, tetapi juga menciptakan aliran pendapatan yang beragam dan stabil.
Kasus Zenius memperlihatkan bahwa bahkan perusahaan dengan brand kuat dan pendanaan signifikan bisa tersandung jika tidak mampu menyesuaikan model bisnis dengan realitas pasar.
Dalam jangka panjang, keberhasilan startup bukan ditentukan oleh seberapa cepat mereka mendapatkan investor, tetapi seberapa mampu mereka mengubah modal tersebut menjadi pertumbuhan yang sehat dan berkelanjutan.
Pelajaran dari deretan kegagalan ini jelas: fokus semata pada pendanaan adalah strategi yang rapuh.
Burning money mungkin efektif untuk membangun basis pengguna awal, tetapi tanpa disiplin manajemen keuangan, strategi tersebut menjadi bumerang.
Di era di mana investor semakin selektif, hanya startup yang mampu menyeimbangkan ambisi dengan keberlanjutan yang akan bertahan.
Ke depan, ekosistem startup Indonesia perlu menggeser fokus dari sekadar mengejar pendanaan menuju pembangunan bisnis yang kokoh dan adaptif.
Manajemen keuangan harus menjadi pilar utama, bukan sekadar formalitas setelah dana masuk.
Dengan mengutamakan prinsip sustainable growth, menerapkan strategi lean startup, dan memperkuat kapasitas manajerial, perusahaan rintisan memiliki peluang lebih besar untuk bertahan, berkembang, dan benar-benar memberikan dampak positif jangka panjang bagi ekonomi dan masyarakat.
Penulis: Indah Nurul Ainiyah